UMNO
Bendera UMNO
Pembentukan
Logo UMNO
Namun, anggota UMNO masih terbatas kepada anggota suku Melayu (bumiputra), dan Onn Jaafar berusaha mengubah kebijakan dan nama partai ini, namun ditolak. Onn Jaafar kemudian mengundurkan diri sebagai tanda protes, namun peranannya diangkat oleh Tunku Abdul Rahman yang menyetir negara ini menuju kemerdekaan pada 1957.
Sejarah UMNO
Zaman Dato Onn
Satu perhimpunan besar-besaran yang dikenal sebagai Kongres Melayu Se-Malaya pertama telah diatur oleh Persatuan Melayu Selangor di Klub Sultan Sulaiman, Kampung Baharu, Kuala Lumpur pada 1 Maret sampai 4 Maret 1946 dan sebanyak 41 organisasi Melayu telah mengirim perwakilan masing-masing.Dato Onn bin Jaafar dari Persatuan Melayu Johor telah dipilih sebagai Ketua Kongres. Hampir semua wakil organisasi telah berpidato termasuk dua orang perwakilan anak-anak.
Tiga usul telah disetujui oleh Kongres seperti berikut:
- Mendirikan Perserikatan Nasional Melayu Bersatu;
- Menolak organisasi Malayan Union; dan
- Mengadakan Derma Pelajaran Nasional Melayu saja.
Meskipun ada bantahan yang hebat dari kaum Melayu, Pemerintah Inggris tetap melanjutkan rencana mereka dan pada 1 April 1946 mendirikan Malayan Union. Orang-orang Melayu dan organisasi Melayu terus membangkang dan tidak memberikan dukungan terhadap Malayan Union. Pada 11 Mei 1946, Kongres Melayu Se-Malaya ketiga dan perhimpunan agung pertama Pertubuhan Melayu Nasional Melayu Bersatu atau PEKEMBAR (UMNO) bertahan di Istana Besar Johor Bahru dan Konstitusi UMNO telah diterima dan disetujui oleh para peserta. UMNO pun lahirlah secara resmi.
Dato Onn mengusulkan bahwa keanggotaan partai dibuka kepada semua penduduk Tanah Melayu, terlepas kaum, dan nama UMNO diubah menjadi "Pertubuhan Nasional Penduduk Tanah Melayu Bersatu". Karena saran itu ditentang, Dato Onn mundur sebagai presiden UMNO saat konferensi Majelis Permusyawaratan Agung Keenam diadakan pada 25 - 26 Agustus 1951. Dato Onn kemudian mendirikan Parti Kemerdekaan Malaya (IMP) pada 26 Agustus, 1951
Zaman Tunku Abdul Rahman
Pada 1951, Tunku Abdul Rahman dilantik sebagai Presiden UMNO kedua. Pada konsensus di antara UMNO, MCA dan MIC mengadakan pertemuan dengan pemerintah Inggris di London, kemerdekaan Tanah Melayu tercapai. Ia mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri dan Presiden UMNO pada 1971 dan digantikan oleh wakilnya, Datuk Abdul Razak Hussein.Zaman Tun Abdul Razak
Pada tahun 1971, Tun Abdul Razak mengumumkan Dasar Ekonomi Baru yang bertujuan membantu orang Melayu. Dasar ini mentargetkan pegangan ekonomi orang Melayu sebanyak 30% menjelang 1990 namun gagal.
Perbedaan Negara Bekas
Jajahan Belanda dengan Inggris
05 Maret 2015 15:23:44 Diperbarui: 17 Juni 2015 10:08:39 Dibaca : 8,061
Komentar : 21 Nilai : 23
Perbedaan Negara Bekas Jajahan Belanda dengan Inggris
Ratu Wilhelmina, Belanda - sejarah-bangsa-kita.blogspot.com
Ratu Elisabeth I, Inggris
Pada dasarnya semua penjajah tidak ada yang baik. Itulah sebabnya dalam
mukaddimah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
disebutkan: Semua penjajahan di muka bumi Allah Swt. ini harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan perikeadilan.
Sungguhpun begitu, dalam ungkapan orang tua-tua di Tanah Melayu Riau
disebutkan: Di dalam buruk, ada pula eloknya. Misalnya, tanpa penjajahan
itu barangkali tidak akan negara kita ini; tidak kemajuan di bidang
pendidikan, dan sebagainya.
Inggris yang menjajah 1/3 belahan bumi, negara bekas jajahannya, pada
akhirnya, secara umum relatif lebih baik dibandingkan dengan negara
bekas jajahan Ratu Wilhelmina dan Ratu Juliana itu. Lihatlah misalnya
beberapa negara bekas jajahan negara Ratu Elisabeth itu yang berdekatan
dengan negara kita seperti Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam, Papua
New Gunea, Australia, Fiji, Salomon, Vanuatu. Pemerintahan,
perekonomian, GDP, dan sebagainya relatif lebih baik.
Bagaimana dengan bekas jajahan Belanda? Memang, negara bekas jajahannya
tidak sebanyak Inggris. Sebutlah misalnya Indonesia, Suriname, Mozanbiq
(jangan-jangan ada orang Indonesia tidak tahu dimana letak negara yang
terakhir itu).
Ketika Belanda hengkang dari Indonesia tahun 1949—kecuali Irian Barat,
nama Irian Jaya sekarang ini—Belanda tidak mewariskan struktur
pemerintahan yang baik kepada pemerintahan Indonesia ketika itu. Hal ini
berbeda dengan yang diwariskan Inggris di bekas negara jajahannya,
sehingga pemerintah bekas negara jajahannya sudah punya semacam modal
awal. Boleh dikatakan pemerintah Indonesia waktu mulai menata tata
kelola pemerintahan dari nol, kecuali untuk beberapa hal di bidang
hukum/ peraturan perundang-undangan seperti KUHP, KUHAP dan sebagainya.
Anehnya, simbol-simbol dan taribut-atribut jabatan yang dipakai
pegawai/pejabat zaman pemerintahan Belanda itu—sesuatu yang dianggap
sebagai simbol feodalisme—tetap dipakai, dikembangkan, walaupun
bentuknya berubah, hingga sekarang.
Perhatikan, misalnya, simbol atau atribut yang dipakai aparatur
negara/PNS dan pejabat di negara kita, mulai dari di tingkat Pemerintah
Pusat sampai ke ceruk-ceruk negeri. Semuanya memakai baju seragam, tidak
mau sama dengan rakyatnya: nama, bed nama, lambang korpri. Apalagi
pejabatnya seperti Gubernur, Bupati, Walikot, Camat, Lurah, Kepala Desa
atau sebutan lain: semuanya memakai “jengkol” di dadanya.
Setiap daerah memakai pula bendera dan lambang daerah masing-masing,
yang kadang-kadang menimbulkan pengkotak-kotakan daerah, tidak sejalan
lagi dengan hakekat Negara Kesatuan.
Pemakaian gelar Insinyur (Ir) dan Doktorandus (Drs) yang juga merupakan
warisan Belanda telah dihapuskan. Sekarang gelar-gelar kesarjanaan itu
telah di-Indonesia-kan sedemikian rupa, telah terspesifikasi, terlepas
suka atau tidak suka kita dengan aturan tersebut. Tetapi mengapa dalam
bidang yang tidak dilakukan reformasi?
Di negara bekas jajahan Inggris penyebutan gelar jarang dituliskan,
disebutkan secara formal.
Yang menarik adalah hampir semua negara bekas jajahan Inggris,
penduduknya bisa berbahasa Inggris. Tidak demikian halnya dengan negara
bekas jajahan Belanda, hanya kalangan elit saja yang bisa berbahasa
Belanda.
Penataan perkantoran di negara bekas jajahan Belanda menyimbolkan
pendekatan keamanan (security approach). Itu dapat dilihat dimana ada
kantor gubernur, bupati, walikota, camat, disitu berdiri pula kantor
kepolisian, TNI dan kejaksaan. Berbeda dengan bekas jajahan Inggris yang
menekankan pendekatan kesejahteraan (welfare approach). Hal itu
tersirat dari penataan perkantorannya terdiri dari bangunan eksekutif,
perpusatakaan dan musium.
Dulu sewaktu waktu H. M.Jusuf Kalla menjadi wakil presiden Presiden
Susilo Bambang Yodhoyono, telah mencoba melakukan semacam desakralisasi,
tetapi banyak pihak menentangnya. Misalnya dengan hanya memakai baju
batik, putih; mengurangi pengawalan, dan sebagainya.
Di era presiden Joko Widodo-H.M. Jusuf Kalla, tampaknya hal itu mulai
dilakukan lagi, untuk memberikan kesan tidak berjarak dengan rakyat.
Sebaiknya itu juga dilakukan pejabat pemerintah lainnya. Dan akan lebih
baik lagi berbagai aturan yang “feodal” itu ditinjau kembali,
disesuaikan dengan perkembangan.
Lalu, bagaimana perbedaan negara bekas jajahan Inggris dan
Belanda—khususnya dengan Indonesia—di bidang pola pikir (mind-set),
budaya kerja (culture-set), pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme,
penegakan hukum, toleransi beragama, penghormatan HAM dan sebagainya.
Silahkan Saudara menilainya....
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rudharjs/perbedaan-negara-bekas-jajahan-belanda-dengan-inggris_54f8911aa33311f2098b468c
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rudharjs/perbedaan-negara-bekas-jajahan-belanda-dengan-inggris_54f8911aa33311f2098b468c
Perbedaan Negara Bekas
Jajahan Belanda dengan Inggris
05 Maret 2015 15:23:44 Diperbarui: 17 Juni 2015 10:08:39 Dibaca : 8,061
Komentar : 21 Nilai : 23
Perbedaan Negara Bekas Jajahan Belanda dengan Inggris
Ratu Wilhelmina, Belanda - sejarah-bangsa-kita.blogspot.com
Ratu Elisabeth I, Inggris
Pada dasarnya semua penjajah tidak ada yang baik. Itulah sebabnya dalam
mukaddimah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
disebutkan: Semua penjajahan di muka bumi Allah Swt. ini harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan perikeadilan.
Sungguhpun begitu, dalam ungkapan orang tua-tua di Tanah Melayu Riau
disebutkan: Di dalam buruk, ada pula eloknya. Misalnya, tanpa penjajahan
itu barangkali tidak akan negara kita ini; tidak kemajuan di bidang
pendidikan, dan sebagainya.
Inggris yang menjajah 1/3 belahan bumi, negara bekas jajahannya, pada
akhirnya, secara umum relatif lebih baik dibandingkan dengan negara
bekas jajahan Ratu Wilhelmina dan Ratu Juliana itu. Lihatlah misalnya
beberapa negara bekas jajahan negara Ratu Elisabeth itu yang berdekatan
dengan negara kita seperti Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam, Papua
New Gunea, Australia, Fiji, Salomon, Vanuatu. Pemerintahan,
perekonomian, GDP, dan sebagainya relatif lebih baik.
Bagaimana dengan bekas jajahan Belanda? Memang, negara bekas jajahannya
tidak sebanyak Inggris. Sebutlah misalnya Indonesia, Suriname, Mozanbiq
(jangan-jangan ada orang Indonesia tidak tahu dimana letak negara yang
terakhir itu).
Ketika Belanda hengkang dari Indonesia tahun 1949—kecuali Irian Barat,
nama Irian Jaya sekarang ini—Belanda tidak mewariskan struktur
pemerintahan yang baik kepada pemerintahan Indonesia ketika itu. Hal ini
berbeda dengan yang diwariskan Inggris di bekas negara jajahannya,
sehingga pemerintah bekas negara jajahannya sudah punya semacam modal
awal. Boleh dikatakan pemerintah Indonesia waktu mulai menata tata
kelola pemerintahan dari nol, kecuali untuk beberapa hal di bidang
hukum/ peraturan perundang-undangan seperti KUHP, KUHAP dan sebagainya.
Anehnya, simbol-simbol dan taribut-atribut jabatan yang dipakai
pegawai/pejabat zaman pemerintahan Belanda itu—sesuatu yang dianggap
sebagai simbol feodalisme—tetap dipakai, dikembangkan, walaupun
bentuknya berubah, hingga sekarang.
Perhatikan, misalnya, simbol atau atribut yang dipakai aparatur
negara/PNS dan pejabat di negara kita, mulai dari di tingkat Pemerintah
Pusat sampai ke ceruk-ceruk negeri. Semuanya memakai baju seragam, tidak
mau sama dengan rakyatnya: nama, bed nama, lambang korpri. Apalagi
pejabatnya seperti Gubernur, Bupati, Walikot, Camat, Lurah, Kepala Desa
atau sebutan lain: semuanya memakai “jengkol” di dadanya.
Setiap daerah memakai pula bendera dan lambang daerah masing-masing,
yang kadang-kadang menimbulkan pengkotak-kotakan daerah, tidak sejalan
lagi dengan hakekat Negara Kesatuan.
Pemakaian gelar Insinyur (Ir) dan Doktorandus (Drs) yang juga merupakan
warisan Belanda telah dihapuskan. Sekarang gelar-gelar kesarjanaan itu
telah di-Indonesia-kan sedemikian rupa, telah terspesifikasi, terlepas
suka atau tidak suka kita dengan aturan tersebut. Tetapi mengapa dalam
bidang yang tidak dilakukan reformasi?
Di negara bekas jajahan Inggris penyebutan gelar jarang dituliskan,
disebutkan secara formal.
Yang menarik adalah hampir semua negara bekas jajahan Inggris,
penduduknya bisa berbahasa Inggris. Tidak demikian halnya dengan negara
bekas jajahan Belanda, hanya kalangan elit saja yang bisa berbahasa
Belanda.
Penataan perkantoran di negara bekas jajahan Belanda menyimbolkan
pendekatan keamanan (security approach). Itu dapat dilihat dimana ada
kantor gubernur, bupati, walikota, camat, disitu berdiri pula kantor
kepolisian, TNI dan kejaksaan. Berbeda dengan bekas jajahan Inggris yang
menekankan pendekatan kesejahteraan (welfare approach). Hal itu
tersirat dari penataan perkantorannya terdiri dari bangunan eksekutif,
perpusatakaan dan musium.
Dulu sewaktu waktu H. M.Jusuf Kalla menjadi wakil presiden Presiden
Susilo Bambang Yodhoyono, telah mencoba melakukan semacam desakralisasi,
tetapi banyak pihak menentangnya. Misalnya dengan hanya memakai baju
batik, putih; mengurangi pengawalan, dan sebagainya.
Di era presiden Joko Widodo-H.M. Jusuf Kalla, tampaknya hal itu mulai
dilakukan lagi, untuk memberikan kesan tidak berjarak dengan rakyat.
Sebaiknya itu juga dilakukan pejabat pemerintah lainnya. Dan akan lebih
baik lagi berbagai aturan yang “feodal” itu ditinjau kembali,
disesuaikan dengan perkembangan.
Lalu, bagaimana perbedaan negara bekas jajahan Inggris dan
Belanda—khususnya dengan Indonesia—di bidang pola pikir (mind-set),
budaya kerja (culture-set), pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme,
penegakan hukum, toleransi beragama, penghormatan HAM dan sebagainya.
Silahkan Saudara menilainya....
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rudharjs/perbedaan-negara-bekas-jajahan-belanda-dengan-inggris_54f8911aa33311f2098b468c
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rudharjs/perbedaan-negara-bekas-jajahan-belanda-dengan-inggris_54f8911aa33311f2098b468c
Perbedaan Negara Bekas
Jajahan Belanda dengan Inggris
05 Maret 2015 15:23:44 Diperbarui: 17 Juni 2015 10:08:39 Dibaca : 8,061
Komentar : 21 Nilai : 23
Perbedaan Negara Bekas Jajahan Belanda dengan Inggris
Ratu Wilhelmina, Belanda - sejarah-bangsa-kita.blogspot.com
Ratu Elisabeth I, Inggris
Pada dasarnya semua penjajah tidak ada yang baik. Itulah sebabnya dalam
mukaddimah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
disebutkan: Semua penjajahan di muka bumi Allah Swt. ini harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan perikeadilan.
Sungguhpun begitu, dalam ungkapan orang tua-tua di Tanah Melayu Riau
disebutkan: Di dalam buruk, ada pula eloknya. Misalnya, tanpa penjajahan
itu barangkali tidak akan negara kita ini; tidak kemajuan di bidang
pendidikan, dan sebagainya.
Inggris yang menjajah 1/3 belahan bumi, negara bekas jajahannya, pada
akhirnya, secara umum relatif lebih baik dibandingkan dengan negara
bekas jajahan Ratu Wilhelmina dan Ratu Juliana itu. Lihatlah misalnya
beberapa negara bekas jajahan negara Ratu Elisabeth itu yang berdekatan
dengan negara kita seperti Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam, Papua
New Gunea, Australia, Fiji, Salomon, Vanuatu. Pemerintahan,
perekonomian, GDP, dan sebagainya relatif lebih baik.
Bagaimana dengan bekas jajahan Belanda? Memang, negara bekas jajahannya
tidak sebanyak Inggris. Sebutlah misalnya Indonesia, Suriname, Mozanbiq
(jangan-jangan ada orang Indonesia tidak tahu dimana letak negara yang
terakhir itu).
Ketika Belanda hengkang dari Indonesia tahun 1949—kecuali Irian Barat,
nama Irian Jaya sekarang ini—Belanda tidak mewariskan struktur
pemerintahan yang baik kepada pemerintahan Indonesia ketika itu. Hal ini
berbeda dengan yang diwariskan Inggris di bekas negara jajahannya,
sehingga pemerintah bekas negara jajahannya sudah punya semacam modal
awal. Boleh dikatakan pemerintah Indonesia waktu mulai menata tata
kelola pemerintahan dari nol, kecuali untuk beberapa hal di bidang
hukum/ peraturan perundang-undangan seperti KUHP, KUHAP dan sebagainya.
Anehnya, simbol-simbol dan taribut-atribut jabatan yang dipakai
pegawai/pejabat zaman pemerintahan Belanda itu—sesuatu yang dianggap
sebagai simbol feodalisme—tetap dipakai, dikembangkan, walaupun
bentuknya berubah, hingga sekarang.
Perhatikan, misalnya, simbol atau atribut yang dipakai aparatur
negara/PNS dan pejabat di negara kita, mulai dari di tingkat Pemerintah
Pusat sampai ke ceruk-ceruk negeri. Semuanya memakai baju seragam, tidak
mau sama dengan rakyatnya: nama, bed nama, lambang korpri. Apalagi
pejabatnya seperti Gubernur, Bupati, Walikot, Camat, Lurah, Kepala Desa
atau sebutan lain: semuanya memakai “jengkol” di dadanya.
Setiap daerah memakai pula bendera dan lambang daerah masing-masing,
yang kadang-kadang menimbulkan pengkotak-kotakan daerah, tidak sejalan
lagi dengan hakekat Negara Kesatuan.
Pemakaian gelar Insinyur (Ir) dan Doktorandus (Drs) yang juga merupakan
warisan Belanda telah dihapuskan. Sekarang gelar-gelar kesarjanaan itu
telah di-Indonesia-kan sedemikian rupa, telah terspesifikasi, terlepas
suka atau tidak suka kita dengan aturan tersebut. Tetapi mengapa dalam
bidang yang tidak dilakukan reformasi?
Di negara bekas jajahan Inggris penyebutan gelar jarang dituliskan,
disebutkan secara formal.
Yang menarik adalah hampir semua negara bekas jajahan Inggris,
penduduknya bisa berbahasa Inggris. Tidak demikian halnya dengan negara
bekas jajahan Belanda, hanya kalangan elit saja yang bisa berbahasa
Belanda.
Penataan perkantoran di negara bekas jajahan Belanda menyimbolkan
pendekatan keamanan (security approach). Itu dapat dilihat dimana ada
kantor gubernur, bupati, walikota, camat, disitu berdiri pula kantor
kepolisian, TNI dan kejaksaan. Berbeda dengan bekas jajahan Inggris yang
menekankan pendekatan kesejahteraan (welfare approach). Hal itu
tersirat dari penataan perkantorannya terdiri dari bangunan eksekutif,
perpusatakaan dan musium.
Dulu sewaktu waktu H. M.Jusuf Kalla menjadi wakil presiden Presiden
Susilo Bambang Yodhoyono, telah mencoba melakukan semacam desakralisasi,
tetapi banyak pihak menentangnya. Misalnya dengan hanya memakai baju
batik, putih; mengurangi pengawalan, dan sebagainya.
Di era presiden Joko Widodo-H.M. Jusuf Kalla, tampaknya hal itu mulai
dilakukan lagi, untuk memberikan kesan tidak berjarak dengan rakyat.
Sebaiknya itu juga dilakukan pejabat pemerintah lainnya. Dan akan lebih
baik lagi berbagai aturan yang “feodal” itu ditinjau kembali,
disesuaikan dengan perkembangan.
Lalu, bagaimana perbedaan negara bekas jajahan Inggris dan
Belanda—khususnya dengan Indonesia—di bidang pola pikir (mind-set),
budaya kerja (culture-set), pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme,
penegakan hukum, toleransi beragama, penghormatan HAM dan sebagainya.
Silahkan Saudara menilainya....
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rudharjs/perbedaan-negara-bekas-jajahan-belanda-dengan-inggris_54f8911aa33311f2098b468c
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rudharjs/perbedaan-negara-bekas-jajahan-belanda-dengan-inggris_54f8911aa33311f2098b468c
Post A Comment
Tidak ada komentar :